Logika Teror, Logika Bola
14 Agustus 2009 | Label: catatan sepakbola | 0 komentar |Oleh A.A. Ariwibowo
"JANGAN biarkan dia hidup. Bunuh dan bunuh!", demikian teriakan membahana di atmosfer bola dari para pendukung satu kesebelasan untuk menghabisi dan menamatkan riwayat musuh bebuyutannya.
Bunuh satu orang, dan buatlah seribu orang ketakutan. Ini logika teror, karena di sana termuat momen kematian dan kekerasan.
Daulat membunuh lawan - dalam sepak bola - tampil sebagai pengejawantahan perang. Dideskripsikan bahwa sebelas orang bersenjatakan pedang plus tameng digambarkan sebagai skuad petarung. Lawan menghadang, bayarannya kontan, "Serang dan serang. Lesakkan bola ke gawang lawan".
Darah sebelas orang tersirap, masing-masing kesebelasan siap saling beradu kuat. Ini logika bola, tersimpan momen "survival". Menurut filsuf Elias Canetti, bentuk paling rendah dari "survival" adalah membunuh.
Baik logika teror maupun logika teror merujuk kepada pedagogi perang yang berbunyi, jangan melihat musuh sebagai musuh pribadi melainkan musuh kolektif. Ada defisit jiwa dari manusia-manusia nihilistis baik dalam logika teror maupun dalam logika bola. Ada momen konfrontasi.
Teror membalut ledakan bom di Hotel JW Marrriott dan Hotel Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, Jumat pagi (17/7). Manchester United membatalkan jadwal turnya untuk bertemu dan berlaga dengan tim Indonesia All-Star di Jakarta, yang diagendakan berlangsung Senin (20/7).
Pecinta sepak bola Indonesia menelan pil kekecewaan. Terbentang tiga kata, "Selamat Tinggal Jakarta", seperti dikutip dari sebuah harian nasional. Logika teror, logika bola.
Rencananya, Wayne Rooney dan kawan-kawan akan menginap di Hotel Ritz-Carlton, Jakarta, setelah menyelesaikan laga di Kuala Lumpur, Malaysia. Di Jakarta, bom meledak. Di Kuala Lumpur, Manajer Setan Merah Alex Ferguson menggelar jumpa pers. "Mengejutkan bagi kami semua. Kami baru menerima berita itu saat kami mendarat (di Kuala Lumpur)," katanya. Ujung-ujungnya, MU membatalkan kunjungan ke Jakarta.
Sebuah gambar melukiskan kekecewaan manajer asal Skotlandia itu. Satu tangannya menyangga kepala dan menutup mata. Warta tubuh yang melukiskan kekecewaan. Malang tak kuasa ditolak, duka tak kuasa direnggut. Perwakilan Pro Events di Indonesia, John Merritt menambahkan, manajemen MU membatalkan laga di Indonesia, karena alasan keamanan.
Setali tiga uang, CEO United, David Gill menyebutkan, "Keputusan sudah dibuat tim dan itu sudah mempertimbangkan banyak hal, terutama keselamatan pemain dan tim keseluruhan." Ketika menjawab logika teror, Ferguson dan Merritt bersama Gill, sama-sama memberi makna humaniora.
Dalam buku berjudul Memahami Negativitas, Diskursus tentang Massa, Teror dan Trauma, staf pengajar STF Drijarkara, F. Budi Hardiman menulis, kekerasan adalah penegasan-apa adanya, sementara rasionalitas adalah penegasan-diri dengan jalan putar. Diibaratkan bahwa seekor anjing yang jinak adalah nista dan rendah di hadapan anjing-anjing liar di rimba raya.
Logika teror merayakan kematian. Logika bola menziarahi kehidupan. Logika teror melahirkan manusia nihilistis, karena memeluk ketiadaan dan kehampaan. Logika bola memanggungkan manusia yang menghidupi pengharapan.
Baik logika teror maupun logika bola memandang Dunia menjadi tidak ramah (unheimlich). Meski dalam kematian (logika teror) dan dalam kekalahan (logika bola), manusia mendapati dirinya sunyi. Kebebasan manusia menjadi kebebasan menuju kematian (Freiheit-zum-Tode).
Logika bola, dapat diterjemahkan" dalam kehidupan remaja sebagai kesediaan mendengarkan sesama remaja yang sedang merasakan kesunyian. Warta romantisnya: Ketika dirimu sedang mengalami sakit hati, jangan coba menyembunyikannya.
Sebaliknya, gunakan kesempatan untuk mencurahkan perasaanmu kepada orang lain. Berada bersama orang lain ketika sedang menderita kerapkali dapat menghibur diri dan menyehatkan gizi jiwa.
Logika teror, memilih jalan bunuh diri sebagai akhir dari pengharapan. Menurut sosiolog Emile Durkheim, bunuh diri anomik menyeret seseorang kepada pandangan hidup yang seolah-olah kosong.
Padahal, ziarah hidup gegap gempita dengan keriangan dan kecerahan seperti matahari yang terbit dari Timur dan terbenam dari Barat. Sementara, bunuh diri egoistik menyeret individu ke dalam jurang kesepian yang menekan.
Logika remaja, mengamini kredo bahwa jangan bersedia menjadi korban rasa bete orang lain. Remaja yang merasa bete cenderung bersikap negatif, cepat bereaksi dan suka bertengkar. Rasa bete memunculkan sikap sinis, mengucapkan hal-hal menyakitkan dan menyalahkan orang lain.
Logika teror, logika bola dan logika remaja mengerucut kepada satu hukum manusia, "suasana hati yang buruk menipu hati kita semua. Begitu mengenali kekuatan suasana hati yang menipu itu, maka diri ini bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi. Semua orang bersikap aneh ketika suasana hatinya sedang buruk".
Ketiga logika itu menunjuk kepada "sang survivor". Nah, dalam buku Leviathan, filsuf Thomas Hobbes menulis bahwa setiap orang adalah pelaku potensial sekaligus korban potensial dari sebuah kekerasan. (antara)
Read More...