Sang Opa Menatap Final

30 Juni 2008 | Label: , | |

Oleh Sindhunata

Dalam Piala Eropa 2008 ini ada tiga opa yang menjadi pelatih, yakni Koebi Kuhn (64) dari Swiss, Karel Brueckner (68) dari Ceko, dan Luis Aragones (70) dari Spanyol. Ketiga orang tua ini telah memberikan diri untuk sepak bola sehabis- habisnya. Namun, kendati pengorbanannya sama, nasib mereka ternyata berbeda.

Kuhn, yang telah membawa Swiss sampai babak perempat final Piala Dunia 2006, sudah tersisih di babak pertama Piala Eropa 2008 ini. Itu pun ditandai dengan kepedihan istrinya yang terbaring dalam keadaan koma di rumah sakit.

”Pada saat sekritis ini, orang tentu dihadapkan pada pertanyaan tentang arti hidup,” kata Kuhn. Maksudnya, istrinya yang sakit kritis membuat ia terbuka bahwa ada sesuatu yang lebih penting daripada sepak bola. Toh Kuhn tetap tabah dan memberikan diri untuk memimpin anak-anaknya.

Bangsa Swiss dan pemain Swiss menderita bersamanya. Beberapa pemain tak bisa menemukan kata untuk meringankan penderitaannya, kecuali mengatakan, ”Pelatih, kami berdoa untuk istri Anda.”

”Saya harus menahan air mata ketika mendengar kata-kata mereka itu,” kata Kuhn. Kuhn memang tak berhasil membawa Swiss ke babak selanjutnya. Namun yang pasti, Kuhn telah tinggal di hati kebanyakan orang Swiss.

Hal serupa juga dialami Brueckner. Pelatih berambut putih ini telah membawa Ceko duduk di tempat ketiga Piala Eropa 2004. Di bawah dia, menjelang Piala Eropa 2008, Ceko menempati 10 besar peringkat FIFA, malah sempat di peringkat lima.

Brueckner memang telah membuat timnas Ceko hebat dalam taktik dan teknik. Ia tidak pernah mengultuskan pemain bintang. Ia bahkan memaksa pemain bintang tunduk pada norma kesebelasan yang ingin dibentuknya.

Brueckner adalah pelatih berkaliber, tetapi gajinya sangat tidak seimbang dengan kalibernya. Toh ia tidak menggerutu. Memang ia sungguh pencinta sepak bola. Dalam Piala Eropa ini, anak-anaknya dikalahkan dengan amat tragis oleh Turki. Ceko tersisih. Namun, publik sepak bola tentu tak akan pernah melupakan pelatih sederhana yang suka mengelus-elus rambutnya yang telah memutih itu.

Lain dengan Kuhn dan Brueckner, Luis Aragones adalah kakek yang berhasil. Dia telah membawa Spanyol ke final. Dan, itu berarti ia telah mematahkan kutukan yang menimpa Spanyol. Setelah 24 tahun, baru sekarang Spanyol bisa melampaui semifinal Piala Eropa.

Aragones adalah kakek yang nyentrik. Ia seperti burung hantu tua. Wajahnya acuh tak acuh. Kepalanya suka menunduk sampai ke dada, seakan ia tidak memedulikan apa-apa. Padahal, ia mengetahui setiap gerak bola sampai yang paling detail.

Pada Piala Dunia 2006 di Jerman, ia mendapat rangkaian bunga tanda penghormatan. Ia langsung membuangnya ke tempat sampah. Katanya jengkel, ”Bukan pada tempatnya bahwa seorang lelaki dikirimi bunga.”

Aragones dilahirkan di Hortaleza, pinggiran kota Madrid. Maka, pers menjulukinya ”orang bijak dari Hortaleza”. ”Itu salah pengertian. Saya hanya tahu, bahwa saya tidak tahu apa-apa,” begitu ia membantah. Memang Aragones hanya tahu tentang sepak bola.

Sang kakek ini sempat berselisih dengan bek Sergio Ramos. ”Ramos memang hebat, tetapi kadang-kadang ia mengerjakan hal yang tidak boleh ia kerjakan,” katanya. Maksudnya, ia tidak setuju menjelang pertandingan penting Ramos main ke sebuah disko di Innsbruck.

Ramos marah. Syukurlah mereka kemudian berdamai lagi. ”Bisa terjadi nanti malam para paparazzi akan mendapati Ramos dan saya bersama-sama dalam sebuah disko,” guraunya tanpa ekspresi.

Aragones mungkin rewel. Maklum, usianya sudah tua. Namun jangan salah sangka. Dalam hal sepak bola, kakek tua ini sangat up-to-date dan modern. Ia menguasai benar sistem sepak bola modern. Ia tahu betapa sepak bola modern menuntut permainan super dari lapangan tengah. Maka, ia menggembleng Xavi, Andres Iniesta, David Silva, dan Marcos Senna menjadi pemain tengah yang andal.

Aragones juga dikenal sebagai ”komandan bola-bola pendek”. Memang ia telah membuat kesebelasan Spanyol master dalam operan dan passing-passing bola pendek. Permainan ini mensyaratkan pemain tidak hanya bisa memainkan bola dengan penuh seni, tetapi juga dengan disiplin tinggi. Terbukti Rusia telah dua kali dijadikan korban bulan-bulanan oleh permainan bola pendek yang penuh seni itu.

Aragones bangga telah membawa Spanyol ke final. Namun sang opa sadar, Jerman adalah langganan juara yang tak mudah ditaklukkan, apalagi bila mereka sudah berdiri di final. ”Jerman adalah Jerman,” katanya.

Toh Aragones yakin anak- anaknya akan bisa menaklukkan Jerman. Itu beralasan karena Spanyol meraih final dengan prestasi gemilang, sementara Jerman melangkah dengan sempoyongan.

”Di dunia ini tidak ada pelatih selain Aragones yang bisa bercerita demikian banyak tentang bola,” kata master bola-bola pendek, Xavi. Siapa tahu malam ini Opa Aragones juga akan menambah sebuah cerita baru bagi dunia sepak bola? *

0 komentar: