Jerman, Rebutlah Piala
30 Juni 2008 | Label: Euro 2008, Jerman, Joachim Loew | |Judul di atas, mengutip tulisan di tabloid terbesar di Jerman, Bild. Sehari setelah Jerman menghentikan keajaiban Turki, 3-2, di Basel, Swiss, Bild membakar semangat Michael Ballack dan kawan-kawan untuk konsentrasi menghadapi partai final, antara Spanyol dan Rusia.
”Kini, kami boleh bermimpi. Jerman, rebutlah piala,” tulis Bild.
Sebetulnya, Bild tidak sepenuhnya menilai Jerman telah memberikan yang terbaik ketika menggulung Turki. Di bagian lain, Bild justru mengecam keras penampilan 90 menit Jerman.
”Jika kami masih bermain seperti melawan Turki, kesulitan besar akan kami hadapi ketika bertemu Rusia atau Spanyol yang bermain dengan kecepatan dan teknik yang tinggi,” lanjut Bild.
Lain lagi pernyataan ”Kaisar” Franz Beckenbauer. Mantan kapten yang membawa Jerman merebut gelar Piala Dunia tahun 1974 ini kecewa dengan penampilan Jerman, tetapi bangga tim kesayangannya masuk final.
Sedikit sekali terlihat pemain Jerman bergerak untuk merebut bola dari lawan, tetapi siapa yang peduli? Jerman kini sudah masuk final dan kita akan menyaksikan Jerman yang lain di final hari Minggu nanti,” kata Beckenbauer.
Beruntung
Harus diakui, Jerman berhasil mencuri keberuntungan Turki. Dibandingkan dengan empat pertandingan sebelumnya, maka penampilan Jerman dua malam lalu adalah yang terjelek. Turki memang bagus, tetapi Jerman seharusnya lebih hebat lagi.
Sebagai tim dengan reputasi besar, Jerman selama ini dikenal sebagai kesebelasan yang pantang menyerah, dan memiliki semangat juang sampai titik darah penghabisan. Itu sebabnya, tim -tim besar lainnya tidak pernah mau menghentikan tekanan terhadap Jerman sebelum peluit panjang berbunyi.
Akan tetapi, apa yang diperlihatkan Jerman di Basel tidaklah menggambarkan seutuhnya kualitas dan predikat mereka. Gol kemenangan Philip Lahm satu menit menjelang bubaran bisa dikatakan sebagai hasil dari buah jerih payah.
Namun, gol itu bukanlah cermin dari keseluruhan penampilan Jerman sepanjang 90 menit. Justru dalam penguasaan bola Jerman kalah dari Turki, 46-54. Jumlah sepak pojok pun Turki melakukannya sebanyak delapan kali, sedangkan Jerman hanya dua kali.
Selain tidak disiplin dan bermain tanpa gairah, pertahanan Jerman pun sangat keropos. Dua gol Turki tidak perlu terjadi kalau duet Per Mertezacker dan Cristoph Metzelder lebih rapi menggalang kerja sama di jantung pertahanan.
Lima gol yang dua bersarang di gawang yang dikawal Jens Lehmann menjawab kerapuhan pertahanan. Titik ini yang perlu diperbaiki Joachim Loew, bila tidak ingin dibulan-bulani David Villa-Fernando Torres, atau Andrei Arshavin-Roman Pavlyuchenko di final.
Turki, seperti yang sering didengungkan Pelatih Fatih Terim, sangat mengandalkan semangat juang. Itu sebabnya mereka, meski tanpa empat pemain inti, sanggup merepotkan Jerman.
Mehmet Aurelio, Ayhan Akman, Ugur Boral, dan Semih Senturk sanggup bermain optimal mengisi posisi yang ditinggalkan Emre Asik, Tuncay Sanli, Arda Turan, dan Nihat Kahveci.
Boral, bahkan, mengentakkan Jerman lebih dulu setelah dengan jitu menyelesaikan bola sepak pojok pada menit ke-22. Adapun Senturk nyaris memperpanjang keajaiban Turki ketika menyamakan kedudukan menjadi 2-2, empat menit menjelang bubaran.
Kekuatan Turki untuk meredam ketangguhan Jerman adalah bagaimana mereka bermain dengan disiplin posisi. Menyadari secara kualitas individu, Turki sulit mengimbangi Jer man, maka mereka memanfaatkan penguasaan daerah untuk membendung tekanan Jerman.
Hanya karena tiadanya seorang penggerak dari lapangan tengah, Turki akhirnya tidak sebaik Jerman saat melancarkan serangan. Meskipun demikian, apa yang diperlihatkan Turki sudahlah maksimal. Namun, kali ini mereka gagal melanjutkan perjalanan ke final.
Kegagalan Turki tetap mendapat respons positif dari media massa lokal. Semuanya bernada memuji. ”Kami telah menghancurkan Jerman, tetapi tidak bisa mengalahkan mereka,” tulis harian Sabah. ”Sebuah perpisahan yang gemilang,” tambah harian liberal, Milliyet. (YES
”Kini, kami boleh bermimpi. Jerman, rebutlah piala,” tulis Bild.
Sebetulnya, Bild tidak sepenuhnya menilai Jerman telah memberikan yang terbaik ketika menggulung Turki. Di bagian lain, Bild justru mengecam keras penampilan 90 menit Jerman.
”Jika kami masih bermain seperti melawan Turki, kesulitan besar akan kami hadapi ketika bertemu Rusia atau Spanyol yang bermain dengan kecepatan dan teknik yang tinggi,” lanjut Bild.
Lain lagi pernyataan ”Kaisar” Franz Beckenbauer. Mantan kapten yang membawa Jerman merebut gelar Piala Dunia tahun 1974 ini kecewa dengan penampilan Jerman, tetapi bangga tim kesayangannya masuk final.
Sedikit sekali terlihat pemain Jerman bergerak untuk merebut bola dari lawan, tetapi siapa yang peduli? Jerman kini sudah masuk final dan kita akan menyaksikan Jerman yang lain di final hari Minggu nanti,” kata Beckenbauer.
Beruntung
Harus diakui, Jerman berhasil mencuri keberuntungan Turki. Dibandingkan dengan empat pertandingan sebelumnya, maka penampilan Jerman dua malam lalu adalah yang terjelek. Turki memang bagus, tetapi Jerman seharusnya lebih hebat lagi.
Sebagai tim dengan reputasi besar, Jerman selama ini dikenal sebagai kesebelasan yang pantang menyerah, dan memiliki semangat juang sampai titik darah penghabisan. Itu sebabnya, tim -tim besar lainnya tidak pernah mau menghentikan tekanan terhadap Jerman sebelum peluit panjang berbunyi.
Akan tetapi, apa yang diperlihatkan Jerman di Basel tidaklah menggambarkan seutuhnya kualitas dan predikat mereka. Gol kemenangan Philip Lahm satu menit menjelang bubaran bisa dikatakan sebagai hasil dari buah jerih payah.
Namun, gol itu bukanlah cermin dari keseluruhan penampilan Jerman sepanjang 90 menit. Justru dalam penguasaan bola Jerman kalah dari Turki, 46-54. Jumlah sepak pojok pun Turki melakukannya sebanyak delapan kali, sedangkan Jerman hanya dua kali.
Selain tidak disiplin dan bermain tanpa gairah, pertahanan Jerman pun sangat keropos. Dua gol Turki tidak perlu terjadi kalau duet Per Mertezacker dan Cristoph Metzelder lebih rapi menggalang kerja sama di jantung pertahanan.
Lima gol yang dua bersarang di gawang yang dikawal Jens Lehmann menjawab kerapuhan pertahanan. Titik ini yang perlu diperbaiki Joachim Loew, bila tidak ingin dibulan-bulani David Villa-Fernando Torres, atau Andrei Arshavin-Roman Pavlyuchenko di final.
Turki, seperti yang sering didengungkan Pelatih Fatih Terim, sangat mengandalkan semangat juang. Itu sebabnya mereka, meski tanpa empat pemain inti, sanggup merepotkan Jerman.
Mehmet Aurelio, Ayhan Akman, Ugur Boral, dan Semih Senturk sanggup bermain optimal mengisi posisi yang ditinggalkan Emre Asik, Tuncay Sanli, Arda Turan, dan Nihat Kahveci.
Boral, bahkan, mengentakkan Jerman lebih dulu setelah dengan jitu menyelesaikan bola sepak pojok pada menit ke-22. Adapun Senturk nyaris memperpanjang keajaiban Turki ketika menyamakan kedudukan menjadi 2-2, empat menit menjelang bubaran.
Kekuatan Turki untuk meredam ketangguhan Jerman adalah bagaimana mereka bermain dengan disiplin posisi. Menyadari secara kualitas individu, Turki sulit mengimbangi Jer man, maka mereka memanfaatkan penguasaan daerah untuk membendung tekanan Jerman.
Hanya karena tiadanya seorang penggerak dari lapangan tengah, Turki akhirnya tidak sebaik Jerman saat melancarkan serangan. Meskipun demikian, apa yang diperlihatkan Turki sudahlah maksimal. Namun, kali ini mereka gagal melanjutkan perjalanan ke final.
Kegagalan Turki tetap mendapat respons positif dari media massa lokal. Semuanya bernada memuji. ”Kami telah menghancurkan Jerman, tetapi tidak bisa mengalahkan mereka,” tulis harian Sabah. ”Sebuah perpisahan yang gemilang,” tambah harian liberal, Milliyet. (YES