KREDO ARSENAL: JANGAN MENGGADAI HATIMU

27 November 2008 | Label: , | |

Oleh A.A. Ariwibowo

PASCA
kekalahan Arsenal 0-3 atas Manchester City dalam laga Liga Utama Inggris yang digelar pada Sabtu (22/11), arsitek The Gunners Arsene Wenger melafalkan kredo kepada pasukannya bahwa, "Pilihlah kebebasan, jangan mau sejengkal hatimu digadaikan oleh keseragaman."

Pengakuan pelatih asal Prancis itu merevolusi kemapanan karena menggoyang kursi para penggede. Mengapa?

Selain tugas ekstra berat menghadapi laga melawan Dynamo Kyiv di Liga Champions Grup G di Emirates Stadium pada Selasa atau Rabu (26/11), media massa Inggris menurunkan sejumlah kepala berita (headlines) seputar gelandang Spanyol Cesc Fabregas yang mendapat tugas baru sebagai kapten tim, menggantikan William Gallas.

Harian The Mirror menulis, "Saya membutuhkan engkau, Gallas". The Sun menurunkan judul, "Katakan maaf kepada Gallas". "Gobby Gallas telah kembali" (The Star. "Gallas dalam Persimpangan" (The Mail). Sementara The Guardian mengklaim bahwa Gallas tampaknya memiliki masalah ketika menghadapi dinamika para bintang muda. "Gallas sulit memberi maaf secara pribadi kepada rekan-rekannya, utamanya kepada Robin van Persie. Ia keras hati," tulis koran itu lebih lanjut.

Nama Gallas sempat dicoret Wenger dari skuad Arsenal pada pertandingan lawan Manchester City. Berbagai sikap dan tindakan Gallas dianggap tidak mencerminkan diri sebagai sosok kapten. Buntutnya, ban kapten kemudian diberikan kepada Manuel Almunia. Ketika kepercayaan terluka, maka kebebasan angkat suara. Mengapa?

Ini lantaran koran-koran Inggris tampil garang saat merespons perilaku pemain, pelatih atau tim yang kedapatan membalak makna kebebasan. Koran-koran itu satu suara bagaikan koor di serambi katedral laga bola bahwa Arsenal kini sedang didera krisis, meski setiap sudut dari Emirates Stadium mengharapkan kebebasan dalam meraih kemenangan.

Tunggu dulu. Di satu pihak, apa ada alasan mendasar sampai-sampai Gallas merobek kebebasan; di lain pihak, publik pecinta Arsenal menambal optimisme ketika Wenger memperbaiki atmosfer pasukan mudanya.

"Untuk memperoleh tim tangguh, kadangkala anda perlu mengambil langkah terobosan setelah menimbang situasi yang berkembang demi masa depan," kata Wenger.

Langkah itu menunjukkan bahwa Wenger tengah melabrak kegandrungan individu atau kelompok akan bahaya institusionalisme. Orang yang bersikap institusionalistis lebih menekankan Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga, struktur organisasi, prosedur kerja yang baku dan uraian tugas-wewenang para pejabat dan para punggawanya. Padahal, semuanya itu sebatas alat, sarana dan bukan tujuan.

Pelatih asal Prancis yang menangani Arsenal sejak 1996 itu tidak ingin berperan sebagai "superman". Ia ingin tampil sebagai pelatih yang memperhitungkan keadaan tim dan keutuhan mentalitas setiap pemain. Menurut koran-koran Inggris, saat melawan The Citizens, Arsenal tampil seperti kehilangan kemampuan.

Bayarannya kontan, posisi Arsenal pun turun ke peringkat lima di bawah Chelsea, Liverpool, Manchester United, dan Aston Villa dalam klasemen Liga Utama Inggris.

Wenger yang mengambil kuliah di Universitas Strasbourg dan berhasil menyabet ijasah master di bidang ekonomi memahami bahaya dari institusionalisme.

Dalam praktek kehidupan, institusionalisme membuat orang merasa puas dengan unsur-unsur formalitas belaka, melupakan jiwa dan semangat akan apa yang harus diraih.

Institusionalisme mengorbankan manusia demi tata tertib, tata cara dan peraturan. Virus ini ingin diberangus Wenger dari bawah sadar Arsenal.

Setelah pertandingan lawan Kyiv, Arsenal kembali dicobai dengan dihadapkan kepada partai berat melawan Chelsea di Premier League. Jika kembali keok, Arsenal bisa tertinggal 13 poin dari pimpinan klasemen Premier League. Ini artinya, Arsenal menanggalkan impian untuk menggondol juara. Meski Wenger tetap membulatkan tekad guna berkonsentrasi di Liga Champions.

Caranya? Wenger menurunkan Fabregas, Abou Diaby, Denilson, Samir Nasri dan Theo Walcott untuk mendominasi lapangan tengah, karena ia menghargai kemampuan dari anak asuhannya itu. "Kami lebih baik mempertahankan formasi dengan lima gelandang," katanya. "Formasi itu memungkinkan kami sedikit demi sedikit melakukan tekanan ke lini pertahanan lawan."

Wenger seakan menyitir pendapat filsuf Thomas Aquinas yang menyatakan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk menyadari dirinya sendiri guna mengambil tindakan dan menempuh sikap (reditio completa in se ipsum).

Sementara, filsuf John Macquarrie mengatakan, cara bereksistensi yang khas manusiawi muncul dari perilaku negasi bahwa manusia mengambil jarak dari alam dengan menciptakan "terobosan" agar manusia merengkuh kebebasan.

Hasilnya? Cesc Fabregas menyambut positif kepercayaan yang diberikan Wenger. Gelandang asal Spanyol berusia 21 tahun itu menyebutnya sebagai "momen membanggakan". "Ini kehormatan luar biasa karena diberi kepercayaan menjadi kapten di salah satu klub besar di dunia. Ini jelas tanggungjawab yang saya emban bersama dengan rekan satu tim. Kami punya semangat dan berkomitmen memenangi setiap laga," katanya.

Pernyataan Fabregas ini berlawanan dengan sinyalemen Gallas. Pekan lalu, pemain asal Prancis itu melontarkan kritik atas semangat sesama rekan satu timnya.

Arsenal disebutnya kurang tampil sebagai tim yang secara fisik cukup digdaya mewujudkan cita-cita meraih juara. "Kami tidak cukup memiliki keberanian dalam mengarungi setiap pertempuran. Kami harus menjadi petarung. Kami harus mampu memenangi setiap pertempuran dengan memotivasi diri saat menyerang ke kubu lawan," kata Gallas yang kini berusia 30 tahun.

Omongan Gallas masuk kategori jauh panggang dari api. Gallas yang direkrut Arsenal dari Chelsea sejak Agustus 2006 itu kerap menunjukkan perilaku kepemimpinan yang memprihatinkan sejak The Gunners menghadapi Birmingham pada musim lalu.

Saat itu, emosinya begitu menggelegak dan ia menendang papan reklame. Tambahan, ia kerap bersikap "semau gue" dengan tidak mengindahkan sesi latihan pada Minggu. Media Inggris melontarkan pertanyaan, quo vadis Gallas?

Rekan pemain yang juga berasal dari Prancis, Gael Clichy mengomentari perilaku Gallas. "Ia kini diterpa banyak masalah berkaitan dengan keberadaannya di tim ini. Hatinya sudah tidak ada lagi di tim. Moga-moga peristiwa belakangan ini jadi awal dari kebangkitan dirinya. Moga-moga ia tampil lebih punya hati," kata Clichy yang menempati posisi pemain belakang.

Pernyataan Clichy merujuk kepada serangan bertubi-tubi media Inggris terhadap perilaku Gallas sejak laga melawan Birmingham. "Selama tujuh bulan, kami bertengger di puncak klasemen dan William tidak menuai kritik apa pun. Tetapi hanya karena satu peristiwa dalam satu laga, segala sesuatunya kini berubah," katanya.

"Ketika anda menderita kekalahan, maka segera datang hari penghakiman. Kami terus tertantang karena kami punya kemampuan dan kekuatan. Hidup bagaikan perjalanan mengarungi peristiwa menggembirakan dan menyedihkan. Kalau saja kami merasa frustrasi, maka serta merta kami tamat riwayat, padahal kami ingin beroleh harapan bagi masa depan," kata Clichy.

Kalau Clichy sudah berbela rasa dengan apa yang dialami rekannya, maka Wenger lebih tampil sebagai sosok yang menuang inspirasi di tengah paceklik semangat pasukannya.

Kalau kredo Arsenal yakni "jangan menggadai hatimu", maka Wenger ingin memproklamasikan kredo-atas-kredo bahwa, "Aku bisa memahami kepedihan orang lain lebih dari sebelumnya. Dengan begitu aku menjadi orang yang lebih peka atas segala apa yang dialami dan dirasakan orang lain."

Tokoh Renaissance Pico della Mirandola punya pendapat menggugah. Katanya, "Kamu adalah pembentuk dan pencipta diri sendiri. Kamu boleh memahat dirimu menurut bentuk yang kau pilih sendiri." Dan Arsenal memilih untuk tidak menggadai hati demi keseragaman. **

0 komentar: