"Pengemis Sepakbola" Benua Eropa

26 Juni 2008 | Label: , , | |

Oleh Budiarto Shambazy

Euro 2008 lebih pas disebut "turnamen antarpelatih" karena peranan mereka lebih vital dibandingkan pemain. Pasalnya, cuma ada dua playmaker gaek yang mampu mengubah jalannya pertandingan, yakni Michael Ballack (Jerman) dan Deco (Portugal).

Itu sebabnya, skor-skor yang menjungkirbalikkan perkiraan lebih sering ditentukan dari luar lapangan. Mereka sesungguhnya pantas digelari "kapten tak bermain" (non-playing captain). Mereka berkepribadian l'enfant terrible karena gemar memprotes, tetapi karismatis.

Mereka insan globalisasi yang tak peduli lagi dengan batas-batas negara bangsa. Mereka profesional yang punya agen, manajemen, dan berlembar-lembar daftar riwayat hidup. Gaji tahunan mereka tak kalah dibandingkan bos perusahaan multinasional.

Guus Hiddink seorang global trotter yang meloloskan Korsel ke semifinal Piala Dunia 2002, Australia ke perempat final Piala Dunia 2006, dan Rusia ke semifinal Euro 2008. Ia mengubrak-abrik metode latihan dan hafal lagu kebangsaan Himne Federasi Rusia walau enggak ngerti artinya.

Sebelum mempersembahkan gelar juara dunia yang kelima untuk Brasil tahun 2002, Luiz Felipe Scolari lebih suka hidup di Teluk Persia. Setelah itu "Big Phil" mengasuh Portugal dan kini resmi melatih Chelsea. Sebentar lagi tabloid-tabloid kuning diramaikan pemberitaan Scolari "Sang Pesohor" yang temperamental ketimbang "Sang Pelatih" elite dunia.

Pelatih Jerman Joachim Loew tak asing dengan Liga Turki karena pernah melatih Fenerbahce dan Adanaspor. Pelatih Turki Fatih Terim, Mei lalu, menerima tanda jasa dari Pemerintah Italia karena melambungkan prestasi Fiorentina dan AC Milan. Menurut survei International Federation of Football History and Statistics (IFFHS) di 80 negara tahun 2001, Terim terpilih sebagai salah satu dari delapan pelatih terbaik dunia.

Turki bukan negeri asing di teater Eropa karena telah ikut serta saat Euro berlangsung pertama kalinya tahun 1960. Adalah Terim, yang dijuluki "Imparator" (Kaisar), yang meloloskan tim nasional dari babak penyisihan grup Euro 1996. Enam tahun kemudian Turki ke semifinal Piala Dunia 2002.

"Saat lolos ke Euro 1996, kami melancarkan perubahan mental yang saya sebut sebagai revolusi. Dalam periode itu, tak ada satu pemain Turki pun yang bermain di luar negeri. Berkat revolusi itu, kami mengajarkan para pemain untuk menang, bukan asal jangan kalah. Perubahan mental itulah yang membuka jalan menuju sukses di Piala Dunia 2002," ujar motivator yang menemukan bakat dua pemain AC Milan, Umit Davala (Turki) dan Ruis Costa (Portugal), ini.

Tatkala diminta kembali melatih tim nasional tahun 2005, Terim-yang mencampur metode disiplin pemain profesional dengan gairah pemain amatir- menuntut gaji sekitar Rp 1 miliar per bulan. Parlemen ribut karena jumlah itu 130 kali upah minimum. "Gaji Terim boleh dibahas, tetapi akan mengganggu kekompakan tim nasional," protes anggota parlemen pro-Terim.

Pemuja Terim lebih banyak ketimbang pendukung Presiden Abdullah Gul, penggemar sepak bola fanatik yang hadir di semifinal melawan Jerman, Kamis, 26 Juni WIB dini hari nanti. Bagi bangsa Turki, kemenangan yang menentukan atas Ceko dan Kroasia merupakan pengalaman yang hanya bisa dinikmati sekali dalam seumur hidup.

"Pengemis sepak bola"

"Kami satu-satunya bangsa 'pengemis sepak bola' di Benua Eropa yang tak akan pernah berhenti lapar kemenangan melawan negara-negara adidaya," tulis wartawan Turki, Cengiz Candar. Turki "negara persimpangan" yang ada di antara dua benua, Asia dan Eropa. Sampai kini, negeri yang bermasa lalu jaya itu ditolak bergabung dengan Uni Eropa meski secara resmi jadi bagian dari NATO.

Bukan kebetulan Jerman sahabat sejati karena kehadiran sekitar dua juta warga keturunan Turki yang sebagian besar merupakan buruh kelas rendah. Tiap kali berhadapan dengan tim "Panser", para pemain ibarat mendapat peluang emas untuk membuktikan bahwa mereka tak selalu "berada di bawah" (underdog). Para pemain bisa melampiaskan dendam kesumat karena beberapa tahun terakhir imigran Turki dianggap sumber penyakit-penyakit sosial di kota-kota besar, seperti Berlin, Muenchen, atau Stuttgart.

Kemenangan atas tim kuat Eropa menyimpulkan siapa bangsa Turki. Menurut para ahli, mereka bangsa yang sukar ditebak, senang kejutan, menyenangkan, dan melelahkan. Mereka pribadi penggembira, tetapi kurang memakai akal sehat. Mereka brilian, tetapi suka pamer.

Tim nasional Turki sejatinya representasi bangsanya sendiri. Lihat penampilan mereka di lapangan hijau: minim konsentrasi, kurang kompeten, suka gugup, dan cenderung kasar. Fanatisme. Itu kata paling tepat menggambarkan mentalitas "pengemis sepak bola" yang berbaur dengan kultur underdog.

Untungnya, sepak bola tak melulu urusan teknik atau taktik, tetapi juga mentalitas. Jika diukur dari perjalanan di Grup A, Turki telah berlari kencang melampaui semua penghalang-rintang menuju finis. Fanatisme menjadikan Jerman lawan yang tak lebih hebat dibandingkan Ceko atau Kroasia.

Oke, Terim menghadapi krisis karena sembilan pemain terkena hukuman kartu atau cedera. Ada kemungkinan kiper cadangan Tolga Zengin bahkan akan dikerahkan jadi pemain belakang atau penyerang tengah. Lalu, apakah itu masalah besar?

Saya teringat petualangan Argentina di Piala Dunia 1990 ketika Pelatih Carlos Bilardo dilanda krisis karena 22 pemain terkena kartu kuning, tiga kartu merah, dan hampir separuhnya cedera ringan dan berat. Toh Argentina lolos ke final.

"Mereka telah membuktikan diri tak boleh dipandang remeh berapa pun gol yang sudah tercetak. Mereka sulit ditebak, itu yang membuat Turki lawan yang berbahaya," ujar Loew mengakui. Dalam pertemuan mereka pada periode 1951-2005 Jerman menang 11 kali, Turki menang tiga kali, dan mereka bermain seri sebanyak tiga kali*

http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/06/25/01535499/pengemis.sepak.bola.benua.eropa

0 komentar: