1968: Pergantian Nama

26 Juni 2008 | Label: | |

Piala Eropa 1968 dianggap sebagai turnamen yang pertama karena secara resmi menggunakan nama The European Championships dan menggantikan nama European Nations Cup. Turnamen ini juga menjadi monumental karena melibatkan peserta lebih banyak, yaitu 31 negara. Apalagi di dalammnya ikut nama-nama besar seperti juara dunia, runner-up dan juara ketiga Piala Dunia yaitu Inggris, Jerman Barat dan Portugal. Juga tim-tim dengan nama besar seperti Spanyol, Uni Soviet dan Italia.

Italia menjadi tuan rumah pertandingan semifinal dan final. Dalam semifinal pertama Italia harus menghadapi tim kuat blok timur, Uni Soviet di Napoli. Semnetara juara dunia Inggris menghadapi blok timur lainnya, Yugoslavia, di Florence.

Italia yang tampil dengan tim baru setelah disisihkan secara memalukan oleh Korea Utara di Piala Dunia 1966, tampil tanpa inspirasi. Dengan sejumlah pemain muda seperti penjaga gawang Dino Zoff, Italia bermain imbang 0-0 dengan Uni Soviet hingga perpanjangan waktu. Italia akhirnya memang lolos ke final, namun itu pun harus ditentukan melalui undian.

Sementara Inggris yang tampil dengan tim juara dunia 1966 tampil mengecewakan. Mereka dipermalukan Yugoslavia yang tampil dengan skuad muda. Inggris tersingkir setelah kalah 0-1.

Partai final mempertemukan tuan rumah Italia lawan Yugoslavia. Penonton membludak, mencapai 60 ribu orang. Pertandingan berlangsung ketat. Para pemain muda Yugoslavia mengejutkan tuan rumah Italia. Pertandingan pun hanya berakhir 1-1. Partai final harus diulang di Roma. Saat itu belum ada sistem perpanjangan waktu dan adu penalti. Di partai ulangan yang disaksikan 75 ribu penonton, tuan rumah menang 2-0.

(Tjahjo Sasongko)

1972: Awal Dominasi Jerman

Belgia ditunjuk sebgagai tuan rumah partai semifinal dan final Piala Eropa 1972. Peta kekuatan masih belum bergeser, namun Jerman Barat merupakan kekuatan yang sangat dominan. Menempati peringkat ketiga Piala Dunia 1970, tim Jerman diperkuat penjaga gawang Sepp Maier, pemain belakang Franz Beckenbauer dan Berti Vogts, pemain tengah Gunter Netzer serta ujung tombak Der Bomber, Gerd Mueller.

Dari 32 negara kontestan, empat negara lolos ke babak semifinal, yaitu Jerman Barat yang menghadapi Belgia serta Uni Soviet menghadapi sesama blok timur, Hungaria. Skenario berjalan mulus, Jerman Barat bertemu Uni Soviet di babak final.

Di hadapan 43.437 penonton dalam final di Brussels, Uni Soviet nyata-nyata bukan tandingan Jerman Barat. Permainan kolektif Asatiani dkk mampu diredam permaian kolektif yang lebih atraktif dan inspiratif dari anak-anak asuhan Helmut Schoen. Gerd Muller dkk mampu juara setelah menang 3-0. Sukses itu mengawali dominasi sepak bola Jerman di Piala Eropa.


(Tjahjo Sasongko)

1976: Cekoslovakia Kacau Skenario

Piala Dunia 1974 di Jerman Barat memperlihatkan perseteruan klasik antara tuan rumah dengan tim Belanda. Jerman Barat dengan nama-nama besar seperti Franz Beckenabeur, Gerd Muller, Netzer dan Rainer Bonhoff saat itu keluar sebagai juara. Meski sebenarnya mereka kalah pamor dengan runner-up Belanda yang tampil revolusioner dengan total football mereka. Nama-nama seperti Johan Cruyff, Johan Neeskens, Johnny Rep maupun Rene van der Kerkhof merupakan pemain idola pada masa itu.

Karena itulah orang mengharap akan terjadi ulangan final Piala Dunia 1974. Jerman Barat akan kembali menghadapi Belanda.

Skenario ini seperti berjalan mulus hingga memasuki babak semifinal. Belanda menghadapi Republik Cekoslowakia, sementara Jerman Barat menghadapi tuan rumah Yugolsvia.

Sayangnya, saat melawan Cekoslowakia, Belanda tanpa kekuatan penuh. Johan Neeskens dan Wim van Hanegem terkena kartu merah. Praktis Belanda hanya mampu bertahan untuk tidak kalah dan bermain imbang 1-1 dalam 90 menit. Dalam perpanjangan waktu, keuletan Belanda runtuh. Cekoslowakia menambah dua gol melalui Zdenek Nehoda dan Moder. Pupuslah skenario ulang final Piala Dunia 1974.

Sementara, Jerman Barat mampu lolos ke final dengan menyisihkan tuan rumah Yugoslavioa 4-3. Namun di babak final, Franz Beckenabuer tidak mampu menemukan lagi keberuntungan seperti di kandang sendiri pada 1974. Mereka dikalahkan Cekoslwakia melalui adu penalti setelah dalam waktu 120 menit kedua tim bermain imbang 2-2.


(Tjahjo Sasongko)

1980: Lebih Terpusat

Piala Eropa keenam tahun 1980 menjadi lebih besar. Terjadi perubahan sistem kejuaraan yang sangat signifikan. Bila hingga 1976 tuan rumah hanya menyelenggarakan pertandingan semifinal dan final dengan empat negara peserta, Italia menjadi tuan rumah dari delapan negara peserta. Putaran final pun menjadi lebih terpusat.

Partai ulang final Piala Dunia 1974 antara Jerman Barat dan Belanda akhirnya terjadi di Napoli dalam penyisihan Grup I. Meski Jerman Barat tidak lagi diperkuat Der Bomber Gerd Muller, mereka masih memiliki Klaus Allofs dan Horst Hrubesch. Allofs mencetak tiga gol ke gawang Belanda, sementara Tim Oranye hanya mampu membalas dua gol melalui Johnny Rep dan Willy van de Kerkhof.

Jerman Barat untuk kedua kalinya sukses menjuarai turnamen. Di babak final, Horst Hrubesch memborong dua gol Jerman Barat saat mengalahkan Belgia 2-0.


(Tjahjo Sasongko)

1984: Kebangkitan Perancis

Piala Eropa 1984 menjadi saksi kebangkitan kembali sepakbola Perancis yang sempat mati suri pascaera Raymond Kopa dan Just Fontaine pada akhir dekade 1950-an. Meski sempat tampil pada Piala Dunia 1978 dan 1982, Perancis masih dianggap sebagai kekuatan kelas dua di Eropa di bawah kekuatan lama seperti Jerman Barat dan Italia.

Tim perancis 1984 merupakan tim yang menjadi cikal bakal gaya bermain tim Les Bleus hingga saat ini. Mereka mengembangkan pola permainan yang menekankan pada kekuatan lapangan tengah. Saat itu Perancis menumpuk lima gelandang yaitu, latini, Giresse, Tigana, Genghini, Lacombe. Platini menjadi jenderal sekaligus eksekutor.

Nyaranya tim Perancis sejak awal menunjukkan tanda-tanda tidak tertandingi. Mereka mengalahkan Denmark, Belgia dan Yugsolavia di penyisihan grup tanpa pernah kebobolan. Mereka maju ke semifinal menghadapi Portugal sebagai runner-up Grup 2. Sementara Spanyol menjadi juara grup dan menghadapi Denmark.

Bagi Perancis, pertandingan semifinal lawan Portugal paling berat. Mereka harus bersusah-payah untuk mengalahkan Portugal 3-2 melalui perpanjangan waktu. Di final mereka harus menghadapi Spanyol yang sebelumnya mengalahkan Denmark 5-4 di semifinal lainnya melalui adu penalti.

Final lebih menjadi ajang pamer kekuatan Perancis. Michel Platini dkk terlalu kuat buat kubu Spanyol yang akhirnya harus bertekuk lutut 0-2.


(Tjahjo Sasongko)

1988: Belanda, Kesempurnaan Total Football

Jerman Barat ditunjuk sebagai tuan rumah untuk perhelatan kedelapan pada 1988, yang dimainkan dengan format serupa dengan 1984. Di bawah manajer Franz Beckenbauer, mereka berharap dapat mencetak sukses seperti saat mereka menyelenggarakan Piala Dunia 1974.

Jerbar tampil meyakinkan dalam kualifikasi Grup A. Mereka mencatat 2 kali menang, satu kali seri dan mengumpulkan nilai 5. Jerman unggul dalam selisih gol atas Italia yang keluar sebagai runner-up.

Namun, sebagai juara grup, Jerman Barat justru bertemu Belanda yang menjadi runner-up Grup B. Sang arsitek total football, Rinus Michel, kembali menangani timnas Belanda. Diunggulkan saat turnamen dimulai, Belanda kalah 0-1 dari Uni Soviet yang keluar sebagai juara grup.

Dalam semifinal di Hamburg, Belanda tidak mengulangi kesalahan seperti 1974. Permainan total football mereka terasa sudah sempurna. Mereka tanpa kesulitan unggul 2-1 atas tuan rumah Jerman Barat dan lolos ke babak final menghadapi Uni Soviet yang menyisihkan Italia di semifinal lainnya.

Final Piala Eropa 1988 merupakan partai yang pantas dikenang. Uni Soviet tampil dengan penjaga gawang utama Rinat Dessaev, namun Belanda lebih super dengan pemain-pemain seperti Ruud Gullit, Frank Rijkaard, Ronald Koeman dan Marco van Basten. Di final yang dilangsungkan di Stadion Olimpiade Muenchen, Belanda unggul 2-0 melalui gol Ruud Gullit dan Van Basten.

(Tjahjo Sasongko)

1992: Kejutan dari Sang Pengganti

Turnamen kesembilan dilangsungkan di Swedia dalam situasi Eropa yang sudah berubah. Salah satu kekuatan utama blok timur, Uni Soviet, sudah bubar menjadi negara-negara independen (CIS).

Sementara Yugoslavia yang sedang dalam kondisi diboikot, tidak dapat tampil di ajang Piala Eropa ini. Padahal, sebelumnya mereka sudah memastikan lolos ke putaran final. UEFA ikut memboikot Yugoslavia. Sebagai gantinya di putaran final, UEFA menunjuk Denmark yang sebenarnya tidak lolos ke Swedia. Namun, karena di babak kualifikasi berada di bawah

1996: Football Comes Home

Pecahnya negara-negara Eropa Timur seperti Yugoslavia dan Cekoslovakia membuat peserta Piala Eropa 1996 membengkak menjadi 48 negara. Karena itulah jatah tim yang berhak maju ke putaran final ditambah menjadi 16 negara.

Inggris mendapat giliran menjadi penyelenggara. Merasa sebagai penemu sepak bola modern, Inggris memberi tajuk kejuaraan ini dengan "Football Comes Home" (sepakbola kembali ke tanah kelahiran). Sebuah klaim yang sering dianggap arogan.

Sayang Inggris kandas di babak semifinal. Adalah Jerman di bawah pimpinan pelatih Berti Vogts yang menjadi penghadang. Jerman kemudian keluar sebagai juara dengan mengalahkan Republik Ceko di babak final yang berlangsung dengan sistem sudden death.
Jika terjadi hasil imbang, maka akan dilaksanakan perpanjangan dengan sistem gol emas.
Artinya, siapa pun yang mencetak gol di masa perpanjangan, akan memenangkan pertandingan. Tak peduli apakah gol itu baru tercipta di menit pertama.
Jerman sebenarnya kesulitan menghadapi Republik Ceko yang baru terbentuk setelah pecah dari Slovakia. Bahkan, Rep. Ceko unggul lebih dulu lewat gol Patrick Berger. Namun, Oliver Bierhoff menyamakan kedudukan dan memaksa perpanjangan waktu.
Oliver Bierhoff pula yang mencetak gol emas saat perpanjangan waktu baru berlangsung lima menit. Gol yang benar-benar menyesakkan Rep. Ceko.


(Tjahjo Sasongko)

2000: Vive Les Blues!

Untuk pertama kalinya turnamen terbesar Eropa ini diselenggarakan di dua negara secara bersama-sama. Geografi Belanda dan Belgia yang berdampingan memungkinkan mereka menjadi tuan rumah bersama.

Namun, hanya Belanda yang lolos ke babak semifinal. Tim asuhan pelatih Frank Rijkaard ini tampil perkasa di perempat final dengan menghancurkan tim Yugoslavia 6-1. Sayang di babak semifinal mereka disingkirkan Italia melalui adu penalti, setelah bermain imbang 0-0 dalam 120 menit.

Sementara di semifinal lainnya, Perancis menyingkirkan Portugal 2-1 yang ditandai dengan kartu merah yang dikenakan buat pemain Portugal, Luis Figo.

Pertandingan final di stadion De Kuip, Rotterdam berlangsung menegangkan. Italia menampilkan permainan asli mereka, catenaccio yang sangat ketat dengan serangan balik secara sporadis. Mereka memetik hasilnya pada menit ke-54 lewat gol Marco Delvecchio.

Les Bleus yang dua tahun sebelumnya menjuarai Piala Dunia, tampil meyakinkan. Mereka terus menekan gawang Italia yang dijaga Francesco Toldo. Hasilnya, pada menit ke-90 Sylvain Wiltord mencetak gol bpenyama kedudukan, 1-1. Pada perpanjangan waktu, David Trezeguet mencetak gol emas yang mengantar Perancis meraih dua gelar juara, juara dunia dan Eropa!

(Tjahjo Sasongko)

2004: Kejutan Negeri Seribu Dewa

Yunani adalah kejutan terbesar Euro 2004 di Portugal. Negeri Seribu Dewa ini membuka turnamen dengan kemenangan atas tuan rumah Portugal dan menutupnya di final dengan kemenangan atas lawan yang sama. Namun, kemenangan yang terakhir menghasilkan gelar juara.

Yunani di bawah asuhan pelatih asal Jerman, Otto Rehhagel, memang samasekali tidak diperhitungkan. Bahkan meski telah menang atas Portugal di babak penyisihan grup dan mengalahkan Perancis 1-0 di perempat final, mereka masih tetap dianggap sebagai tim yang banyak diuntungkan dewi fortuna.

Di babak semifinal mereka meneruskan kejutan dengan mengalahkan Republik Ceko 1-0 melalui gol Dellas di babak perpanjangan waktu. Mereka kemudian maju ke final untuk kembali berhadapan dengan tuan rumah Portugal yang menyingkirkan Belanda 2-1 di babak semifinal.

Akhirnya, Yunani memastikan keperkasaan mereka di babak final. Di hadapan 62.685 penonton yang memadati Estadio De Luz, Lisbon, Yunani tampil dengan keyakinan diri tinggi. Meski lebih sering diserang, mereka akhirnya mengalahkan Cristiano Ronaldo dkk melalui gol Charisteas di menit ke-57. Seluruh rakyat Portugal pun menangis. Perlengkapan pesta yang telanjur dipersiapkan, menjadi sia-sia belaka.

(Tjahjo Sasongko)

http://bolaeropa.kompas.com/sejarah

0 komentar: